Pagi itu terlihat seperti biasa. Bangunku agak kesiangan,
meskipun sebenarnya baru pukul enam. Abah sudah dengan mata bercahaya duduk di
teras depan. Menunggu teh panas agar sedikit menghangat. Tiba-tiba beliau
memanggilku yang masih dengan susah payah mengumpulkan tenaga untuk beranjak.
Beliau memulai dengan pertanyaan formalitas. "Semalam
kemana?"
"Ngopi, Bah. Di warung pojok," jawabku singkat.
"Gimana sekolahmu?"
"Masih libur. Seminggu lagi baru masuk." Sahutku.
Percakapan pun berlangsung beberapa menit dilanjutkan dengan diskusi seperti
yang biasa kita lakukan.
"Adekmu kemarin siapa yg nganter (sekolah)?"
Pertanyaan basa basi, menurutku. Karena ketika aku mengantar adikku, aku tidak
lupa berpamitan kepada beliau.
"Anak-anak di sini berangkatnya pagi banget ya, Bah?
Masa kemarin jam 7 udah banyak yg keringetan main bola." Pertanyaan itu
disertai uapan kantukku.
"Ya, begitulah. Sedikit berbeda dengan pembelajaran
sebelum tahun 90-an. Anak-anak tempo dulu tertata secara kognitif sebelum
pelajaran dimulai."
Aku mulai tertarik dengan 'tema' percakapan kali ini.
"Kok bisa gitu?" Tanyaku sedikit penasaran. Maklum saja, aku
tergolong anak 90-an yang tak seberpengalaman beliau.
"Anak-anak pada zaman itu (sebelum 90-an), terbiasa
'lalaran' atau mengulas materi hari sebelumnya sebelum pelajaran dimulai. Ada
yg menghafal, tanya catatan, atau bahkan hanya sekedar 'mengenang' kejadian
lucu di hari sebelumnya. Jadi mereka sudah dalam keadaan siap ketika gurunya
datang."
Aku mulai sedikit kritis. "Lah, jadi maksud Abah
anak-anak zaman sekarang lebih suka main ketimbang siap-siap belajar?"
"Bisa dibilang gitu. Perbedaannya terletak pada
kebutuhan. Kalau dulu, anak belajar apa adanya. Materi yang diajarkan guru
bersifat tunggal. Sumber belajar pun masih jarang. Zaman Abah malah belum ada
buku. Pakai papan, yang sebelum dihapus dihafalkan dulu."
"Semacam mindah 'file' kalau sekarang? Hehe."
Tanyaku kembali santai.
"Ya. Ini bisa jadi salah satu efek negatif dari media
online, gadget dan sebagainya. Bisa jadi anak-anak itu meremehkan. 'Kita main
saja, nanti kalo ditanya Pak Guru tinggal browsing'". Kita sontak tertawa.
"Ketika kita belajar, hal penting yang perlu dilakukan
adalah belajar memposisikan diri. 'Iso rumongso'. Merasa butuh ilmu, butuh
diajari dan lebih penting lagi harus menghormati guru. Terlepas dari guru itu
gaptek atau bisa dibilang kalah cepet sama muridnya dalam hal
browsing-membrowsing." Beliau kembali melanjutkan, dan kali ini aku hanya
menganggukkan kepala.
"Coba kita lihat cangkir ini. Ketika kita bisa
memposisikan diri, sudah 'anteng' pikirannya, siap menampung, teh yg dituangkan
juga akan baik-baik saja." Sambungnya sembari menuangkan teh untukku.
"Lah kalo cangkirnya goyang-goyang, masih bergerak, belum fokus, apa yg
akan didapatkan? Tehnya tumpah toh?"
Aku kembali mengiyakan dan memegang cangkir untuk memastikan
suhunya. "Terus kalau cangkir itu ketutup HP?" Aku balik bertanya dan
menaruh HP Abah di atas cangkir lain yang masih kosong. Beliau hanya tersenyum
simpul karena tiba-tiba Ibu lewat untuk membuang sampah usai menyapu.
"Ya, ini yang tadi kita bicarakan sebagai efek negatif
'online'. Kadang kita sudah merasa siap belajar, tapi sebenarnya tidak seperti
itu. Kita masih terhalang gadget. Kita berada di kelas, tidak main di luar, seakan-akan
menunggu guru tapi ternyata _chatting_an. Ketika belajar di kelas, seolah-olah
memperhatikan guru padalah IG-an. Ya kayak cangkir kosong yang ketutup HP
itu." Aku terdiam.
Beliau melanjutkan, "bagaimana cangkir itu mau keisi
kalo tertutup?"
Pertanyaan ini kujawab dengan sedikit serius. "Ya kita
bisa memilih untuk merusak gadget itu dengan langsung disiram teh dari teko,
atau kita singkirkan dulu HP-nya Bah".
"Nah, itu pilihan yg bagus. Tapi banyak yang tak
menyadarinya." Kali ini beliau setuju denganku. Obrolan itu pun berakhir
ketika Ibu datang untuk mengajak pindah ke meja makan.
Author; faruq chan